Monday, March 3, 2014

Tersesat

Aku tersesat.


Aku berada di suatu koridor yang sangat panjang. Sejauh mataku memandang, aku hanya bisa melihat warna putih. Dinding putih, pintu putih, lantai putih. Satu-satunya yang terlihat berbeda adalah gagang pintu yang berwarna hitam. Hal selanjutnya yang kusadari adalah aku sedang berdiri. Aku mencoba menggerakkan kakiku seperti yang aku ingat ketika aku masih dapat menggerakkannya. Mereka bergerak. Aku tidak jatuh.

Aku berjalan kedepan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Aku angkat kakiku pelan-pelan, takut terjatuh jika aku bergerak terlalu cepat. Sepertinya otakku masih mengingat bagaimana cara berjalan karena aku bisa berjalan dengan normal setelah beberapa langkah. Aneh melihat bagaimana tubuhku bisa beradaptasi sangat cepat untuk berjalan kembali daripada menghadapi kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa menggunkan kakiku lagi.

Aku berjalan pelan-pelan. Kuperhatikan kedua ujung, tapi aku tidak bisa melihat akhir dari koridor ini. Aku sedikit takut, tapi aku menikmati kebebasan menggunakan kakuku lagi, jadi aku tidak terburu-buru. Aku berjalan untuk waktu yang sangat lama, melewati pintu-pintu sebelum mencemaskan kemungkinan bahwa aku mungkin tidak dapat keluar dari tempat ini. Aku mencoba membuka pintu dengan memutar gagangnya, tapi mereka terkunci.

Aku menggedor pintu-pintu tersebut, berusaha mencari tahu apakah ada seseorang dibaliknya. Aku melihat jalan yang telah aku lewati, tapi yang aku lihat hanya hitam gelap. Sekarang aku berlari, mencoba mencapai ujung dari koridor ini, tapi berapapun lama aku berlari, aku tidak bisa melihat ujungnya.

Aku merasa capek. Kakiku bergetar, jantungku berdebar, nafasku terengah-engah, tapi entah mengapa tidak ada keringat. Aku duduk membelakangi dinding dan menutup mataku, berharap bahwa ini semuanya cuma mimpi.

Ketika aku membuka mataku, semuanya kembali normal. Aku masih berbaring diatas tempat tidur rumah sakit. Seseorang sudah membuka jendela karna cahaya matahari masuk membuatakan mataku. 

“Selamat pagi.” 

“Selamat pagi. Jam berapakah sekarang?” Aku mencoba membuka mataku, tapi cahaya matahari sangat terang.

“Setengah sembilan. Apakah bapak mau sarapan?”

“Ya. Dan bisakah anda menutup jendelanya?” Aku mencoba menggerakkan kakiku, tapi mereka tetap diam tidak bergeming. Aku bahkan tidak bisa merasakannya.

“Ada lagi pak?” Si suster cantik. Jika aku masih bisa normal, jika saja aku masih bisa berjalan, aku telah mengajaknya kencan sejak dulu.

“Tidak, terima kasih,” Aku menyalakan tv, mencoba mencari program tv yang bagus. Ah, akhirnya. Kartun.

“Kalau begitu saya akan pergi. Jika bapak ada apa-apa tekan saja belnya.”

“Tentu,” aku berikan senyum terbaikku. Aku harap aku tidak terlihat mengerikan.Setelah sarapan dan minum obat, aku mencoba berkonsentrasi pada tv, tapi obatnya telah bekerja. Aku bisa merasakan otakku berawan dan melayang ke alam mimpi.

Dan aku disini lagi, di koridor putih panjang ini. Semuanya masih terasa sama, tapi sekarang aku bisa merasakan dingin menusuk kulitku. Kenapa aku tidak merasakannya sebelumnya?Aku berjalan disepanjang koridor ini lagi, kali ini ke arah yang berlawanan. Aku mencoba memutar salah satu gagang pintu dan terkejut menemukan mereka tidak terkunci. Aku mengintip ke salah satu ruangan.


To be continued

No comments:

Post a Comment