Wah, udah lama banget ya aku ga update blog ku. Sebulanan ada kali ya? Sebenarnya yang mau ditulis banyak, ide di otak tumpah ruah ga terbendung dengan kata-kata. Tapi, biasalah klasiknya Zelin. Banyak ide, tapi males merealisasikannya (baca : liburan. Males online di laptop. Ngetik di gadget capek, ngetiknya mesti sebelas jari. Padahal kan jari tanganku cuma sepuluh. Sekarang, mumpung lagi ngerjain tugas, aku ngupdate blogku). Ditambah dengan ujian OSCE, yang kalo boleh kubilang FAIL :( . Pelajaran buat OSCE Comprehensive, belajarnya jangan seminggu sebelumnya ya, Zelin (itupun seminggu masih ditambah dengan main-main.). HARUS sebulan sebelumnya, jadi bisa ngafal nama dan dosis obat dengan lebih baik dan bener ya.
WARNING : LONG STORY
Lanjut, mumpung kita lagi blok Emergency, malem ini aku mau cerita pengalamanku hari Jumat kemarin ketika aku mendonor darah. Sebelumnya, mengenai riwayat kesehatanku. Aku, Alhamdulillah, tidak menderita kelainan kongenital (selain otak yang rada-rada), ga memiliki penyakit Non-Communicable Disease (penyakit yang bukan disebabkan oleh infeksi). Namun aku memiliki dyspepsia fungsional dan Irritable Bowel Syndrome yang krons (lebih dari 6 bulan, tidak ditemukan kelainan organic, sayangnya tidak disertai dengan penurun berat badan yang tidak dapat dijelaskan) dan tekanan darah rendah (pernah mencapai 90/50. Perawat yang ngukur aja sampai nanyain keadaanku). Sebelumnya aku udah pernah mendonor darah dan tidak ada masalah yang terjadi, jadi hari Jumat kemarin aku pede ingin mendonorkan darahku. Jika seandainya besok paginya aku masih lemes, aku bakalan minum kopi atau ngelakuin yang menegangkan biar tekanan darahku naik.
Sebelumnya, aku mau bercerita sedikit tentang keinginanku untuk donor darah. Pertama dan terakhir kalinya aku donor darah, sebelum Jumat kemarin, adalah tanggal 25 Oktober 2013 (bukan. Aku ga punya memori yang bagus kok. Tanggalnya tercantum di kartu donornya, haha). Alasannya karna nadzar. Nah, seharusnya aku sudah boleh donor lagi sejak bulan Januari. Namun, karna daya tahan tubuhku terhadap berbagai jenis flu cukup buruk (tidak diizinkan donor ketika sedang mengalami infeksi, harus menunggu seminggu setelah hari infeksi terakhir untuk donor), ditambah fakta bahwa aku wanita (wanita yang sedang menstruasi ga boleh donor. Kalo mau donor, seminggu setelah hari menstruasi terakhir), kurang tidur (harus tidur cukup pada malam sebelum donor) dan liburan. Oh ya, jangan lupa ujian, akhirnya aku baru bisa mendonor hari Jumat kemarin. Alasan kali ini ga ada yang khusus, cuma kepingin aja. Taukan rasanya gimana tengah malem tiba-tiba pingin makan sushi atau pizza? (atau makanan favoritmu yang lain). Begitu rasanya, cuma kepingin (Aku mau sedikit promosi nih. Donor darah itu enak loh. Sehat. Kalo syarat-syaratmu tercukupi ga bakal bikin bahaya. Kamu bisa donor di PMI langsung atau di RS Sardjito. Saranku sih, di Sardjito aja. Jadi kalo kenapa-napa bisa langsung ditangani :3) Aku sudah menjaga agar tidak terkena flu, tidur yang cukup, makan yang sehat dan bergizi (walau susah), ga olahraga sih, tapi ya sudahlah.
Malem sebelumnya aku merasa lemes. Jadi aku nanyain ke temenku. Gini kira-kira percakapannya.
Aku : “Pong, kok aku ngerasa moodku jelek ya? Eh, apa aku lemes ya? Rasanya pingin tidur selamanya ga bangun-bangun lagi.” Kan kita sering bingun bedain lemes atau depresi?
Pong : “Hahahaha. Jangan zel. Ga kok, moodmu ga jelek. Udah pernah yang lebih parah kok.”
Selanjutnya aku menganalisa lemesku. Aku ga punya alasan untuk depresi, jadi depresi dicoret. Tinggal lemes. Lalu aku mengukur tekanan darahku. Ternyata bener, 100/60. Hampir 100 lebih tepatnya. Padahal kita baru selesai makan besar. Namun, aku sudah bertekat hari Jumat itu aku harus donor darah. Ga tau ni badan bakal sehat sampai kapan, jadi mumpung lagi ga kena flu, ga lagi menstruasi, harus donor.
Ok, pagi itu aku bangun dengan perut lapar. Tiba-tiba ada ibu sate yang biasa lewat, teriak-teriak, “Sateee………….Satenya mbak………..Mas……Sate……..” Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, dan ga tau anak kosan bakal bangun jam berapa. Akhirnya aku memutuskan makan sate itu.
Sebelumnya aku sudah bercerita bahwa aku menderita dyspepsia fungsional dan Irritable Bowel Syndrome yang sudah sangat lama. Dan entah mengapa hari itu, kedua penyakitku memutuskan untuk kambuh. Aku diare dua kali setelah aku makan satenya (ataukah ini factor satenya? Namun, sebelumnya aku makan sate itu baik-baik aja. Apa aku lagi apes aja kali ya?). Setelah itu perutku merasa penuh yang tidak nyaman. Bukan karena satenya, tapi karena dyspepsianya.
Pukul 11 temenku, Pongkapong (nama panggilan, bukan nama sebenarnya) ngajakin makan. Ga tau hitungannya sarapan atau makan siang, tapi mumpung aku terakhir makan jam 7, aku udah diare, dan aku mau donor, jadi aku memutuskan ikut dan makan lagi. Menunya kali ini soto banjar. Setelah makan, kita langsung ke Sardjito.
Sebelum donor, kita diharuskan mengisi checklist syarat-syarat donor.
- Berumur lebih dari 17 tahun. Checked
- Menstruasi terakhir lebih dari seminggu yang lalu. Checked.
- Tidak menderita infeksi dalam seminggu terakhir. Checked.
- Telah makan selama 30-60 menit terakhir. Checked.
- Tidur cukup tadi malam. Checked.
- Tidak menderita diare dalam seminggu terakhir. Ummm, ok, aku baru aja diare tadi pagi. Tapi kalo aku mencentang tidak, kira-kira aku bakal dilarang ga ya? Akhirnya aku memutuskan aku mengambil rute aman dengan mencentang iya. Checked.
Setelah tes awal lulus, ada tes kedua berupa golongan darah dan kadar Hb. Kadar Hbku 14 (wanita 12-16 gr/dl. Pria 14-18 gr/dl), jadi aku lulus. Selanjutnya masuk ke ruang donor darahnya. Mbak petugasnya ngecek tekanan darahku, dua kali, dengan muka terkejut. Beliau sih bilang tekanan darahku 110/70, tapi aku bisa ngerasain tekanan darahku. Cuma 100/50. Mungkin beliau ga mau kehilangan darah potensial? Hahaha.
Proses donor darahku yang sebelumnya cukup lama. Aku sampe bosan nungguin kantong darahnya ga penuh-penuh. 10 menitan lebih ada kali ya. Namun, yang kali ini cukup cepet, 5 menitan kurang. Mungkin faktor dari mbaknya memberi tekanan 40 mmHg pada cuffnya, atau emang yang seperti mbaknya bilang pembuluh darahku yang cukup besar, aku ga tau. Setelah donor aku bisa merasakan kepalaku ringan dan aku merasa pusing dan mual, mungkin karna darah yang diambil terlalu cepat sehingga tubuhku belum siap atau aku entah bagaimana mengonsumsi sesuatu yang membuat pembuluh darahku tidak dapat berkonstriksi secara maksimal. Lalu Aku minta kantong muntah ke mbaknya, takut-takut aku pingin muntah ntar ga terkejar ke WC. Kan kasian kalo sampe harus bersihin muntahku. Aku juga repot kalo mesti bersihin, belum lagi bajuku. Gimana caranya aku pulang ntar?
Dan bener. Aku muntah tiga kali. Muntahan pertama sedikit. Muntahan kedua cukup banyak. Sepertinya semua soto banjar yang kumakan keluar semua. Melayang sudah uang 15.000 (begini nih anak kosan. Semua pengeluaran dihitung, haha :3). Yang ketiga kalinya, sarapan sateku keluar juga (jangan tanya gimana aku tau). Melayang lagi 8000. Dan kalian tahu apa yang kupikirkan setelah muntah? Bagaimana aku harus mengeluarkan uang lagi untuk mengisi perutku yang kosong.
Mbaknya merasa ga enak, temenku cemas, akunya takut. Takut mbaknya nginget aku trus aku ga boleh donor lagi. Kan sedih? :|
Aku : “Pong, sarapanku keluar semua coba. Masa aku makan lagi.”
Pong : “Kamu nih, habis muntah malah mikir makan lagi.”
Aku : “Lah, trus mau diapain? Ditangisin juga udah keluar. Masa mau dimasukin lagi. Kan jijik.”
Pong : “Terserahmu lah Zel. Aku tadi hampir mau ikut donor, udah mau bilangin ke mbaknya ‘Mbak, saya mau donor juga’ tapi ngeliat kamu aku ga jadi. Tulah kamu, malah muntah. Kalo ga aku kan ikut donor.”
Aku : “Ya udah sih donor aja. Anggap aja yang barusan terjadi tidak terjadi.”
Pong : “Ya kali gila. Kamu bisa bangun ga?”
Aku : ”Bentar ya Pong, aku baring bentar. Aku gemetaran coba, kayanya perfusi darahku ke jaringan terlalu sedikit nih. Kamu jadi donor ga?”
Pong : “Menurutmu? *sarkastik* Kalo aku donor trus aku ikut-ikut kaya kamu gimana? Ga ada yang ngurusin ntar.”
Aku : “Oh, iya bener juga. Ya udah tunggu bentar lagi ya. Kepalaku udah mendingan kok.”
Mbaknya bawain aku teh hangat yang aku minum ampe tinggal seperempat digelasnya. Yang aku heran dari mbaknya, tekanan darah dan denyut nadiku ga dihitung. Untungnya mbaknya baik, beliau masih bilang, “Jangan kapok donor ya mbak,” jadi aku ga protes. Lagian aku lebih takut mbaknya yang kapok nerima aku, mau donor atau bikin repot sih? Ok, setelah itu aku pulang. Aku tau temenku udah ngebet banget mau pulang. Karena ipadnya tinggal dikosan. Padahal udah kubilang pake ipadku. Ga ada koneksi internet sih. Tapi kan intinya ada yang bisa dimainin.
Nyampe parkiran, aku masih sempat-sempatnya berdebat siapa yang bawa motor. Bukan apa-apa, tapi yang dipake kan motorku. Dia biasanya bawa motor matic, motorku bebek. Jadi jelaskan kekhawatiranku? Kalo motorku kenapa-napa kan aku yang susah.
Setelah itu, kepalaku merasa ringan lagi. Rasanya mau tumbang gimana gitu. Aku bisa merasakan jantungku palpitasi (deg-degan. Kaya kamu mau ujian). Nafasku cepat dan pendek-pendek. Akhirnya karna ga kuat berdiri aku mencari tempat teduh dan baring. Kalo duduk aja ga cukup, yang bermasalah otakku, jadi otakku harus berada di posisi lebih rendah dari seluruh badanku agar perfusinya lancar. Entah kenapa aku ga kepikiran posisi sujud ya?
Pong : “Zel, gimana? Apa kamu mau ke IGD aja?”
Aku : “Iya pong. Ke IGD aja ya. Aku juga ga kuat duduk lama-lama.”
Bagi yang belum pernah ke Sardjito, aku akan memberikan gambaran singkat mengenai Sardjito. IGD berjarak sekitar 20 meter dari parkiran motor. Dan jalan ke IGD itu sangat tidak manusiawi. Jalannya curam menanjak. Kalo kata dosen tadi pagi, ga bakalan bisa diakses dengan becak. Semakin tukang becaknya berusaha, semakin bangun pasiennya. Nah ketika aku sudah melewati lapangan parkir dan melihat jalan yang harus kutempuh, entah kenapa kondisiku makin parah. Faktor psikologis kali ya. Pandanganku makin blur. Itu loh, kalo mau ngedit di line pake yang vintage. Ga tau sih kalo ngedit di tempat lain gimana. Lapang pandangku makin sempit. Inikah rasanya mau pingsan itu?
Akhirnya aku memutuskan ga kuat lagi dan mencari tempat untuk duduk. Kan kasian temenku kalo misalnya aku beneran pingsan. Pasti bakalan berat bopong aku ke IGD. Dan aku lebih khawatir dengan otakku. Batas waktu otak bertahan hidup tanpa perfusi jaringan cuma 8 menit, jadi aku harus melakukan sesuatu agar otakku mendapat pasokan darah dan oksigen yang baik. Yang bisa kulakukan hanya duduk. Temenku cemes dan bingung mesti ngapain dan tentu saja aku menarik perhatian orang banyak. Dari mas-mas tukang becak, tukang parkir, sampe ibu-ibu dan anaknya yang habis ditransfusi karena menderita leukemia. Dan pada saat itu aku bersyukur, bukan karena kondisiku yang lagi lemes, tapi karena aku menjadi seorang pendonor, bukan penerima donor.
Mas tukang parkir menawarkan diri nganterin aku ke IGD naik motor tarik tiga dengan temenku, tapi aku udah ga kuat berdiri. Jadi aku minta tolong masnya bawain bed atau kursi roda. Untungnya ada kursi roda. Aku ga bisa bayangin kalo mesti tarik tiga.
Nyampenya di IGD, aku dinilai oleh perawat. Baru kali ini aku menyaksikan triage secara langsung dengan aku yang jadi korban benerannya. Mungkin karna pasien yang ga banyak, aku cepet diperiksa dokter sementara temenku daftarin aku. Dan aku didiagnosis vertigo. Lucu sekali.
Ok, disini aku mau bahas yang lebih klinis. Pertama, aku ga yakin aku bener-bener menderita vertigo. Maksudku, oke, aku merasa pusing, sedikit berputar dan mual, tapi aku baru saja mendonorkan darahku. Menurutku diagnosis yang lebih tepatnya syok perdarahan derajat I. Entahlah, mungkin ada pertimbangan lain yang aku gagal paham dan belum mengerti. Setelah dibaringkan di bed, aku menunggu waktu yang sangat lama sebelum penanganan selanjutnya. Mungkin karna factor aku masih dalam kategori hijau karena masih dapat menjawab dengan baik dan benar, Glasgow Coma Scaleku 15 (sadar penuh). Selanjutnya tekanan darahku diukur, 100/60 dan nafasku cepat dan pendek, tangan dan kakiku dingin, sekujur tubuhku keluar keringat dingin. Aku berfikir aku akan mendapatkan infus, ternyata yang kudapatkan malah Oksigen 3L/menit minus infus. Oke, dalam prinsip gawat darurat kita harus lebih mengutamakan Airway (jalan nafas) dan Breathing (pernafasan), tapi setelah keduanya dikoreksi menurutku Circulationnya harus diperbaiki juga. Atau mungkin karna aku cuma kehilangan darah 350-400 ml sehingga aku dianggap tidak memerlukan prosedur invasif? Namun, setelah itu aku mendapat Ondansetron dan Diphenhydramine secara intravena. Maksudku, aku datang bukan karna pusing, tapi perasaan mau pingsanku. Yah oke, hypontesion orthostatic bisa menyebabkan vertigo, tapi tetap saja. Kenapa waktu itu aku ga diinfus? Someone tell me please?
Aku merasa kasihan pada temen yang menemaniku. Besoknya dia ulang tahun, namun hari ini dia harus terjebak dirumah sakit bersamaku gara-gara kekerasan kepalaku. Maksudku, coba aku menuruti kata hatiku ga usah donor, pasti ga terjadi hal begini. Ya sudahlah. Dan juga waktu itu aku belum punya kado buat dia (sekarang sih udah). Uda janji sih ma temenku yang lain buat nemenin beli kado, tapi dengan keadaanku yang begitu gimana caranya mau pergi? Mau duduk aja mikir-mikir, ini udah mau jalan-jalan.
Sebenarnya kalo dipikir-pikir kejadian ini lucu. Mau donor, eh malah masuk IGD. Mau ngasih darah, eh malah keluar uang. Pake dikasih oksigen lagi. Kan jarang-jarang dapat pengalaman begini. Temenku masih sempet-sempetnya nakut-nakutin dengan bilang, “Zel, nanti kamu bisa kena infeksi nosocomial loh. Kan tabung oksigennya jorok, dipake bareng-bareng.” -_-“
Ok, jadi pengalaman merupakan pelajaran :
- Ukur tekanan darah malam sebelumnya. Ga boleh kurang dari 110. Oke, korting 105 aja ya.
- Kalo mau donor lagi, ajak temen. Jadi kalo kenapa-kenapa ada yang nolongin.
- Mulai rajin olahraga lagi biar tekanan darahnya bisa naik.
- Makan yang bener. Kurangi minum kopi.
No comments:
Post a Comment