“Kau harus bertemu dengannya.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
“Kau pasti mau.”
Dia mendengus dan memalingkan muka. Aku sudah seharian ini mencoba meyakinkannya untuk bertemu dengan ayah KAMI. Catat : ayah kami, bukan ayahku saja seperti yang selalu dikatakannya.
“Aku sibuk.”
“Yang benar saja! Jelas-jelas kau tidak sibuk ok? Kau hanya tidak punya keberanian menemuinya,” aku memandangnya tajam.
“Enak saja kau bilang aku tidak berani huh?”
“Lalu apa? Kau malu? Ayolah, temui dirinya, bagaimana kalau sesaat sebelum kau pergi?”
“Aku tidak mau, ok? Apapun alasanku itu bukan urusanmu, kau mengerti itu? Aku harus pergi.”
Dan dia meninggalkanku sendiri.
Bukan masalah besar sebenarnya.
Dia selalu begitu.
Aku dan dia bukan saudara kandung. Dia adalah saudara tiriku. Ayahku menikah dengan ibuny. Kami dulu adalah sebuah keluarga yang cukup bahagia, sampai hari itu.
Nenekku, atau mertua ibu tiriku, tidak setuju dengan pernikahan mereka, walau sudah tiga tahun berlalu. Hari itu ulang tahun ibu tiriku, dan entah kenapa nenekku mengundang ibu tiriku saja untuk ke rumahnya. Nenekku bilang, ‘Women’s day – Hari Wanita’. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi ketika ibu tiriku disana, tapi sekembalinya dari sana, ibu tiriku membawa mobil dengan penuh emosi, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama ini, walau bagaimanapun kacau dirinya. Beliau pasti sangat terganggu hari itu, karena beliau membawa mobil seperti orang gila.
Dan kecelakaan fatal itu terjadi. Kejadiannya ibuku tidak bisa mengerem karena ada mobil yang memotong secara tiba-tiba. Kakak laki-lakiku menyalahkan ayahku untuk kejadian yang bukan kesalahannya.
Dan keluarga kami tercerai berai.
Layaknya kaca pecah yang tidak bisa utuh dan disatukan lagi.
Sungguh ironis.
“Hi, Kira, kamu sudah pulang?” beliau batuk, tiga kali.
“Hi, yah,” beliau sedang duduk di kursi meja makan.
“Bagaimana?” dia terbatuk.
Aku menggeleng dan duduk di depannya.
“Oh,” aku bisa melihat kesedihan dimatanya, “Aku mengerti,” dan batuk lagi.
“Maaf,” aku menundukkan wajahku.
Aku bisa mendengarnya batuk-batuk dan berusaha untuk bicara.
“Maaf untuk apa?”
“Maaf karena aku tidak bisa membawanya pulang.”
“Itu bukan salahmu.”
Dan kami terdiam. Udara terasa sangat berat dan membuatku sesak. Keheningan yang mengapung-apung diudara sangat menusuk dan membuatku menggigil. Hanya suara batuk-batuk ayahku yang terdengar seperti berasal dari tempat yang jauh. Ketika aku melihatnya kesusahan, membuatku bertanya-tanya, jika aku menceritakan keadaan ayahku yang sebenarnya, akankah dia mau menukar pikirannya?
Kakakku, hingga akhir masa dinasnya masih tidak mau bertemu dengan ayahku. Sekeras apapun aku membujuknya dia tetap tidak mau. Aku tidak bisa menceritakan keadaan ayahku, beliau tidak mengizinkannya.
“Ayah, izinkan aku mengatakan kepadanya keadaan ayah.”
“Tidak,” dia terbaring di tempat tidur, suara batuknya menggema ke sekeliling kamar.
“Kenapa?” aku memegang tangannya erat. Aku tidak mau kehilangan tangan ini, “Ku mohon ayah, biarkan aku mengatakannya! Dengan begitu dia pasti mau bertemu denganmu.”
“Tidak bisa sayang, tidak bisa,” matanya menerawang jauh. Seakan dia bisa melihat masa depan yang menantinya. “Aku tidak mau dia bertemu denganku dengan paksaan, hanya karena keadaanku membuatnya merasa bersalah jika tidak melakukannya. Tidak sayang, aku mau dia bertemu denganku karena dia memaafkanku, karena dia sudah ikhlas dan merelakan kepergian ibunya. Hanya itu,” dia mengatakannya sambil terbatuk.
Dan aku memalingkan muka, beliau mengatakan itu seakan beliau sudah tahu akan ajal yang akan menjemputnya.
Air mataku pun menetes.
Ayahku meninggal sehari setelah kepergian kakakku. Beliau meninggal dengan membawa kekecewaan yang amat besar karena kakakku tidak mau menemuinya hingga saat terakhirnya. Malam hari keberangkatan kakakku, beliau koma, batuknya sangat kuat dan mengeluarkan banyak darah dan meninggal keesokan paginya. Tapi aku tahu, beliau meninggal karena suda menyerah, perasaan ditolak yang tidak bisa dibendungnya memperburuk keadaannya.
Dan aku harus melepaskan tangannya. Beliau pergi, meninggalkanku sendiri.
Dan untuk alasan inilah, aku tidak bisa memaafkan diriku.
Tidak akan pernah.
Kira Juwita